“Jangan dilepas,” Suara Nesa mengguratkan selarik ketakutan.
Aku menoleh ke arahnya sekilas. Ia memastikan jemariku masih tertaut dengan jemari kirinya sambil perlahan menuntuntunnya menuruni jembatan, sedang tangan lainnya berpegang pada dinding pengaman.
“It’s ok. Tidak apa-apa, Nes.” Kataku sambil menggebuk lantai jaring-jaring besi di bawahku dengan kaki kananku. “Jaring-jaring ini kuat menahan beban di atasnya. Lihat saja tiang-tiang penyangganya. Semuanya terbuat dari besi. Kokoh sekali.” Kataku sekali lagi.
Jembatan layang ini berdiri sekira 3 meter dari permukaan tanah. Materialnya berupa jaring-jaring besi yang disokong oleh tiang-tiang besi yang kokoh. Tak lupa dilengkapi dengan dinding pengaman yang bentuknya mirip seperti pagar besi belakang gedung fakultas kami. Jembatan ini tampak estetik pun tanpa mengabaikan aspek keselamatan pengunjung yang melintas di atasnya.
Semenjak awal aku mengajaknya menyusuri jembatan jaring-jaring di belakang kampus kami, air muka Nesa sudah menyiratkan keengganan. Aku seperti bisa membaca apa yang sedang bergejolak di kepalanya: acrophobia.
Mesin waktu melemparkanku pada kejadian 10 tahun yang lalu. Mengingatkanku akan pengalaman serupa, hingga akhirnya kubatalkan rencana menertawakan acrophobia Nesa.
“Santai lah, jangan tegang begitu.” Mama menggodaku.
Kata Mama, waktu itu wajahku pucat sekali, seperti kucing yang belum makan tiga hari. Mimik mukakupun tegang, seperti mahasiswa tingkat akhir yang sedang sidang pendadaran.
Menit berikutnya, aku menggamit lengan Mama. Menyembunyikan muka dibawah ketiaknya. Di sanalah aku menemukan rasa aman, nyaman sekaligus sedikit kekuatan untuk bertahan.
Saat rasa “nyes” itu datang, aku menahan napasku lebih kencang sambil merutuki mereka yang berkata ini tidak lebih dari “digigit semut” semata. Bagiku, jelas lebih dari itu. “Digigit semut” ini menusuk kulit lalu menembus hingga otot deltoid untuk memasukkan cairan vaksin meningitis di sana.
“Kalem saja. Mbaknya ini sudah SMA tho?”
Santai saja? Mana bisa? Trypanophobiaku tertawa mendengarnya.
---
Ketinggian dan jarum suntik adalah dua dari sekian banyak hal yang memantik rasa takut manusia. Kegelapan, kesendirian, kesepian, dan hewan-hewan tertentu, bahkan pula masa lalu dan hari esok.
Takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain. Takut tidak bisa menjadi apa yang diharapkan orang tua. Takut membuat kecewa, dan berjuta ketakutan-ketakutan lainnya.
Beberapa rasa takut di atas, katanya hanya boleh dirasakan oleh bayi dan anak-anak saja. Atau, ya, maksimal remaja. Ketika kita dewasa, seolah ada tuntutan untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan tersebut.
“Sudah besar, harusnya tidak takut disuntik”, “ Harus sudah berani kemana-mana sendiri.” Benarkah demikian?
Selama ini, kita mengamini pendapat bahwa rasa takut adalah suatu kelemahan. Sesuatu yang menyebabkan kita tampak lemah dan cupu. Memiliki ketakutan pada hal-hal tertentu membuat kita kehilangan sisi superioritas yang mengakibatkan kita keren di mata orang lain.
Sebaliknya, teori psikologi menyebutkan bahwa takut adalah hal alamiah. Takut adalah satu dari empat emosi dasar manusia. Bahkan rasa takut ini adalah hal alamiah yang juga dirasakan hewan. Kucing akan takut pada kucing yang lebih senior atau hewan lain yang lebih besar. Tidak apa-apa. Rasa takut muncul sebagai respon primitif terhadap sesuatu yang dianggap mengancam dan membayakan keselamatan. Takut adalah respon dari suatu ancaman yang asalnya diketahui, eksternal, jelas atau bukan bersifat konflik.
Di lain sisi, rasa takut juga berperan penting untuk menjaga kita dari situasi berbahaya. Rasa takut membantu kita memutuskan kapan harus keluar dari situasi yang belum tentu dianggap sebagai suatu situasi yang terbaik. Dan yang paling penting, rasa takut ini bisa dikelola..
---
Suatu hari aku harus kembali ke kota perantauan, untuk segera mengerjakan proposal thesis. Sebenarnya, bukan rasa nyaman setelah di rumah lebih dari 2 bulan yang membuatku enggan kembali ke kost. Setelah menghubungi Mbak Yuni si penjaga kost, kutahu sudah ada beberapa penghuni yang sudah kembali. Aku yakin tidak akan sendirian.
Hari pertama dan kedua tampak sempurna dan lancar-lancar saja karena tidak terjadi apa-apa. Proposal thesis dan beberapa laporan praktikum kukerjakan dengan baik. Hingga tibalah pada hari ketiga dimana sesuatu terjadi diluar kendali.
Menghuni kost selama satu tahun belakangan nyatanya tidak membuatku mengenal betul rumah keduaku di Jogja ini. Selain bagunan yang lumayan besar dan nyaman dengan segala fasilitasnya, aku merasa aman karena hal-hal di luar dugaan belum pernah kejadian. Jeng jeng jeng.
Hingga saat ini, aku masih teringat betapa lemasnya lututku, gemetarannya jemariku, dan detak jantungku yang menjadi takikardi secara tiba-tiba.
“Bukan saya Mbak. Kan saya ada kamar mandi sendiri di kamar.” Dua kalimat tersebut adalah jawaban dua orang berbeda saat kutanya apakah semalam salah satu dari mereka menggunakan kamar mandi di sebelah kamarku karna aku mendengar suara kran air diputar.
Semenjak saat itu, tidak ada lagi kedamaian dan ketentraman yang kurasakan seperti malam-malam sebelum kejadian. Setiap tidur malam harus ada teman, bagaimanapun caranya. Kekhawatiran dan kecemasan amat mengganggu diriku. Membuatku tak lagi produktif karena rasa takut yang amat sangat. Sampai kapan rasa takut ini merenggut kedamaian dan ketentraman hatiku?
Katanya, rasa takut terjadi karena individu tersebut tidak mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan pada umumnya. Dan terlalu melebih-lebihkan sesuatu yang di luar kendalinya. Menganggap sesuatu itu terlalu membahayakan jiwanya, sedang ia punya kekuatan terbesar untuknya berserah dan bersandar. Kadang kealpaan kita terhadap Allah sang Maha Segalanya membuat kita silap bahwa tiada satupun yang luput dari penjagaanNya. Lantas mengapa tidak memasrahkan dan menitipkan diri ini kepadaNya, sambil affirmasi bahwa kekuatan yang terbesar adalah dariNya. Sudah sepantasnya ketidak-ridhoan Allah adalah satu-satunya hal yang memantik rasa takut kita -- bukan yang lain.
Katanya pula, menangani rasa takut adalah dengan menghadapkan diri secara langsung dengan hal yang ditakuti.
Maka setelah keyakinan akan memasrahkan segala hal yang mengkhawatirkan itu mengkristal pada hati, muncullah ketetapan untuk menghadapinya. Tidak peduli apakah kran itu terbuka lagi malam ini.
---
Rasa takut bukan untuk dilawan kehadirannya, tetapi digenggam di dalam dada. Menyadari kehadirannya berarti pula menyadari bahwa kita hanyalah manusia biasa. Ada kekuatan besar yang menjadi tempat bersandar dan berpasrah sambil menitipkan sisa keberanian yang ada.
“Ya tapi, kita tetap harus berhari-hati.” Nesa membela diri, menyimpan ketakutannya dibalik sugesti yang ia susun sendiri.
“Tidak apa-apa Nesa. Semua akan baik-baik saja.”