Pertemuan kami tidak dimulai dari “Siapa namamu?” “Tinggal di mana?” pun “Sekarang sedang kuliah atau bekerja”.

Semua terjadi begitu saja.

Bila boleh dianalogikan seperti air, mungkin seperti air yang mengalir menuju muara samudera. Namun perkara “Mengapa bisa menjatuhkan pilihan kepadanya”, tentu adalah hal yang berbeda. Seumpama air, ia boleh memilih berdiam di lautan, atau menguap menjadi awan. 

Lalu, semesta dengan izinNya memilih kami menguap, bertransformasi menjadi awan. 

Berangkat dari dua samudera berbeda, kami berpasrah kemana arah angin akan membawa. Kepasrahan berbalut rasa sabar, dan penantian panjang yang sebelumnya tak pernah kami bayangkan.

Boleh jadi di antara kami ingin dijatuhkan di pegunungan yang hijau nan menyejukkan, atau areal persawahan agar bisa memanen jutaan kebermanfaatan. Pada akhirnya, di mana kami terjatuh, ialah sebaik-baik perencanaan atas kekuasaanNya. Tidak ada yang menyangka, pun mengira bila di tempat inilah kami diperhimpunkan.

Sepotong tanah baru di pulau seberang. Yang hanya tumbuh ilalang di atasnya. Ia berkata, jika kami jatuh di sana, ada banyak pohon kebaikan yang tumbuh di atasnya, pun boleh jadi ribuan buah kebahagiaan yang bisa kami petik nantinya.

Sekarang, memang tidak ada lagi pertanyaan “siapa” untuk disandingkan dengan frasa “teman hidup saya”. Tetapi pertanyaan “bagaimana setelah ini” masihlah menjadi misteri.

Kepada hari-hari esok beserta badai guntur yang mungkin menanti, kami adalah sepasang hujan yang tengah bersiap menyambut pelangi. Izinkan rintik kami membasahi bumi. Menyesap ke dalam tanah merah, untuk menghidupi pohon-pohon kehidupan di pulau baru kami.
View Post


“Jangan dilepas,” Suara Nesa mengguratkan selarik ketakutan.

Aku menoleh ke arahnya sekilas. Ia memastikan jemariku masih tertaut dengan jemari kirinya sambil perlahan menuntuntunnya menuruni jembatan, sedang tangan lainnya berpegang pada dinding pengaman.

“It’s ok. Tidak apa-apa, Nes.” Kataku sambil menggebuk lantai jaring-jaring besi di bawahku dengan kaki kananku. “Jaring-jaring ini kuat menahan beban di atasnya. Lihat saja tiang-tiang penyangganya. Semuanya terbuat dari besi. Kokoh sekali.” Kataku sekali lagi.

Jembatan layang ini berdiri sekira 3 meter dari permukaan tanah. Materialnya berupa jaring-jaring besi yang disokong oleh tiang-tiang besi yang kokoh. Tak lupa dilengkapi dengan dinding pengaman yang bentuknya mirip seperti pagar besi belakang gedung fakultas kami. Jembatan ini tampak estetik pun tanpa mengabaikan aspek keselamatan pengunjung yang melintas di atasnya.

Semenjak awal aku mengajaknya menyusuri jembatan jaring-jaring di belakang kampus kami, air muka Nesa sudah menyiratkan keengganan. Aku seperti bisa membaca apa yang sedang bergejolak di kepalanya: acrophobia.

Mesin waktu melemparkanku pada kejadian 10 tahun yang lalu. Mengingatkanku akan pengalaman serupa, hingga akhirnya kubatalkan rencana menertawakan acrophobia Nesa.

“Santai lah, jangan tegang begitu.” Mama menggodaku.

Kata Mama, waktu itu wajahku pucat sekali, seperti kucing yang belum makan tiga hari. Mimik mukakupun tegang, seperti mahasiswa tingkat akhir yang sedang sidang pendadaran.

Menit berikutnya, aku menggamit lengan Mama. Menyembunyikan muka dibawah ketiaknya. Di sanalah aku menemukan rasa aman, nyaman sekaligus sedikit kekuatan untuk bertahan.

Saat rasa “nyes” itu datang, aku menahan napasku lebih kencang sambil merutuki mereka yang berkata ini tidak lebih dari “digigit semut” semata. Bagiku, jelas lebih dari itu. “Digigit semut” ini menusuk kulit lalu menembus hingga otot deltoid untuk memasukkan cairan vaksin meningitis di sana.

“Kalem saja. Mbaknya ini sudah SMA tho?”

Santai saja? Mana bisa? Trypanophobiaku tertawa mendengarnya.

---

Ketinggian dan jarum suntik adalah dua dari sekian banyak hal yang memantik rasa takut manusia. Kegelapan, kesendirian, kesepian, dan hewan-hewan tertentu, bahkan pula masa lalu dan hari esok.

Takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain. Takut tidak bisa menjadi apa yang diharapkan orang tua. Takut membuat kecewa, dan berjuta ketakutan-ketakutan lainnya.

Beberapa rasa takut di atas, katanya hanya boleh dirasakan oleh bayi dan anak-anak saja. Atau, ya, maksimal remaja. Ketika kita dewasa, seolah ada tuntutan untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan tersebut.

“Sudah besar, harusnya tidak takut disuntik”, “ Harus sudah berani kemana-mana sendiri.” Benarkah demikian?

 Selama ini, kita mengamini pendapat bahwa rasa takut adalah suatu kelemahan. Sesuatu yang menyebabkan kita tampak lemah dan cupu. Memiliki ketakutan pada hal-hal tertentu membuat kita kehilangan sisi superioritas yang mengakibatkan kita keren di mata orang lain.

Sebaliknya, teori psikologi menyebutkan bahwa takut adalah hal alamiah. Takut adalah satu dari empat emosi dasar manusia. Bahkan rasa takut ini adalah hal alamiah yang juga dirasakan hewan. Kucing akan takut pada kucing yang lebih senior atau hewan lain yang lebih besar. Tidak apa-apa. Rasa takut muncul sebagai respon primitif terhadap sesuatu yang dianggap mengancam dan membayakan keselamatan. Takut adalah respon dari suatu ancaman yang asalnya diketahui, eksternal, jelas atau bukan bersifat konflik.

Di lain sisi, rasa takut juga berperan penting untuk menjaga kita dari situasi berbahaya. Rasa takut membantu kita memutuskan kapan harus keluar dari situasi yang belum tentu dianggap sebagai suatu situasi yang terbaik. Dan yang paling penting, rasa takut ini bisa dikelola..

---

Suatu hari aku harus kembali ke kota perantauan, untuk segera mengerjakan proposal thesis. Sebenarnya, bukan rasa nyaman setelah di rumah lebih dari 2 bulan yang membuatku enggan kembali ke kost. Setelah menghubungi Mbak Yuni si penjaga kost, kutahu sudah ada beberapa penghuni yang sudah kembali. Aku yakin tidak akan sendirian.

Hari pertama dan kedua tampak sempurna dan lancar-lancar saja karena tidak terjadi apa-apa. Proposal thesis dan beberapa laporan praktikum kukerjakan dengan baik. Hingga tibalah pada hari ketiga dimana sesuatu terjadi diluar kendali.

Menghuni kost selama satu tahun belakangan nyatanya tidak membuatku mengenal betul rumah keduaku di Jogja ini. Selain bagunan yang lumayan besar dan nyaman dengan segala fasilitasnya, aku merasa aman karena hal-hal di luar dugaan belum pernah kejadian. Jeng jeng jeng.

Hingga saat ini, aku masih teringat betapa lemasnya lututku, gemetarannya jemariku, dan detak jantungku yang menjadi takikardi secara tiba-tiba.

“Bukan saya Mbak. Kan saya ada kamar mandi sendiri di kamar.” Dua kalimat tersebut adalah jawaban dua orang berbeda saat kutanya apakah semalam salah satu dari mereka menggunakan kamar mandi di sebelah kamarku karna aku mendengar suara kran air diputar.

Semenjak saat itu, tidak ada lagi kedamaian dan ketentraman yang kurasakan seperti malam-malam sebelum kejadian. Setiap tidur malam harus ada teman, bagaimanapun caranya. Kekhawatiran dan kecemasan amat mengganggu diriku. Membuatku tak lagi produktif karena rasa takut yang amat sangat. Sampai kapan rasa takut ini merenggut kedamaian dan ketentraman hatiku?

Katanya, rasa takut terjadi karena individu tersebut tidak mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan pada umumnya. Dan terlalu melebih-lebihkan sesuatu yang di luar kendalinya. Menganggap sesuatu itu terlalu membahayakan jiwanya, sedang ia punya kekuatan terbesar untuknya berserah dan bersandar. Kadang kealpaan kita terhadap Allah sang Maha Segalanya membuat kita silap bahwa tiada satupun yang luput dari penjagaanNya. Lantas mengapa tidak memasrahkan dan menitipkan diri ini kepadaNya, sambil affirmasi bahwa kekuatan yang terbesar adalah dariNya. Sudah sepantasnya ketidak-ridhoan Allah adalah satu-satunya hal yang memantik rasa takut kita -- bukan yang lain.

Katanya pula, menangani rasa takut adalah dengan menghadapkan diri secara langsung dengan hal yang ditakuti.

Maka setelah keyakinan akan memasrahkan segala hal yang mengkhawatirkan itu mengkristal pada hati, muncullah ketetapan untuk menghadapinya. Tidak peduli apakah kran itu terbuka lagi malam ini.

---

Rasa takut bukan untuk dilawan kehadirannya, tetapi digenggam di dalam dada. Menyadari kehadirannya berarti pula menyadari bahwa kita hanyalah manusia biasa. Ada kekuatan besar yang menjadi tempat bersandar dan berpasrah sambil menitipkan sisa keberanian yang ada.
“Ya tapi, kita tetap harus berhari-hati.” Nesa membela diri, menyimpan ketakutannya dibalik sugesti yang ia susun sendiri.

“Tidak apa-apa Nesa. Semua akan baik-baik saja.”
View Post

Malam ini saya menjadi saksi atas profesionalisme, integritas, dedikasi, dan etos kerja yang tinggi. Kejadian ini, di satu sisi menggurui dan menghukum saya sekaligus di sisi yang lain.

Pukul 17.50 saya mendapati kabar bahwa paket yang saya kirimkan untuk sepupu di Surabaya belum sampai. Mengingat jam kantor akan segera tutup, saya buru-buru tracking posisi si barang. Harapannya, saya bisa menelfon kantor JN* terdekat untuk konfirmasi karena jaminan layanan satu hari sampai yang saya gunakan.

Saya masih ingat betapa kagetnya, karena posisi si barang masih di warehouse. Ini artinya tidak ada pergerakan barang semenjak tadi pukul 8 pagi.

"Apa-apaan ini?" Saya bertanya, sekaligus merutuk dalam hati.

Perasaan semakin was-was karena waktu sudah menginjak sholat magrib.

"Di mana janji satu hari sampai seperti yang dijanjikan?" Rasa kesal setengah jengkel mulai menghinggapi.

18.05. Jam kantor telah usai. Seribu pikiran burukpun mulai menghantui. Hanya suara kakak sepupu di seberang telepon yang bisa membuat pikiran saya sedikit lebih tenang.

- - -

Waktu kemudian bergulir. Aktivitas saya malam itu berhasil mengalihkan pikiran saya dari si paket.

Menjelang tidur, saya mengecek ponsel dan menanyakan kabar serupa kepada kakak sepupu. Betapa kangetnya saya mendapati jawaban belum tepat pukul 11 malam.

H a m p i r t e n g a h m a l a m.

Apa yang mereka lakukan seharian? Bagaimana bisa paket belum sampai juga? Saya kembali menerka-nerka karena tidak habis pikir bila mereka melanggar janjinya.

Pukul 23.31 ponsel saya bergetar. Ada notifikasi WhatsApp di sana.




Tahu-tahu perasaan kaget dan haru bercampur menjadi satu. Paket itu mendarat dengan selamat di tangan kakak sepupu saya.

Tetapi, ada yang lebih membuat saya tercekat malam itu. Kurir mengantar paket dengan mobil box, kata kakak saya. Ketika saya bertanya mengapa, ternyata hujanlah penyebabnya.

Memori saya terlempar menuju beberapa saat yang lalu, ketika saya membaca berita online. Frontage A Yani Surabaya, terjadi kemacetan luar biasa akibat hujan dan bajir setinggi betis orang dewasa. Ingatan lainnya membawa saya pada berita serupa, tentang beberapa wilayah di Surabaya yang tergenang banjir hampir setinggi paha.

"Di sini hujan deras dari kemarin malam. Syukur air tidak sampai rumah. Terima kasih paketnya."

Hati saya mencelos membaca pesan terakhir dari kakak sepupu. Tetiba tergambar bagaimana keosnya Surabaya tergenang banjir, dan betapa kurir bekerja keras mengantarkan paket satu-per satu, dari rumah ke rumah. Tetiba terbayang bagaimana lelahnya tubuh mereka tetap bekerja ekstra hingga puncak pergantian hari demi mengantar sekotak paket yang saya amanahi.
View Post

Adalah sebuah keniscayaan bahwa setiap mula akan berujung muara. Tidak ada yang mendebat fakta tentang bagaimana ada bermanuver menjadi tiada. Tinggal menghitung waktu, setiap yang bukan suratan, akan perlahan-lahan menghilang.

Sesuatu yang bukan seharusnya, suatu saat akan memudar dengan sendirinya. Satu demi satu fakta tentangnya akan terungkap sempurna. Sebagaimana tabir tersingkap oleh seberkas cahaya, dan gelap yang menggulita sedikit demi sedikit beralih menjadi benderang akibat selarik sinar istimewa.

Tidak ada hati yang tak kecewa karena berakhirnya sebuah cerita. Tokoh utamanya ada dua. Sepasang pria dan wanita yang pernah berjanji untuk saling setia. Keduanya juga sepakat untuk selalu ada, mengarungi setiap liku dan jalan terjal bersama. Alur kisahnya, begitu memikat hati para pembacanya.

Dari latar waktu dan suasanya yang nampak begitu sempurna, siapa hendak menyangka bahwa cerita itu tiba pada penghujungnya. Pada epilog yang dituturkan langsung oleh mempelai wanita, kami tahu bahwa ada genangan yang hendak tumpah di pelupuk matanya.

“Tidak, apa-apa. Memang sudah seperti ini jalan ceritanya.”

Katanya, bersenandika.

Kini, kedua pipinya nampak basah. Oleh genangan yang sedari tadi disimpannya, sekarang telah tumpah. Sebagian meluruh bersama luka-luka yang telah lama disimpannya. Luka yang tak pernah kepada seorangpun terbagi perihnya. Luka yang awalnya tertutupi, tersilap dari mata-mata yang hendak menghakimi.
  
Katanya, sudah lama luka itu ada. Mulanya kecil saja. Lantas membesar seiring dengan terajutnya hari menjadi tahun. Luka yang membuatnya bertahan karena menjaga satu kata sayang.

Sang wanita kini berdiri setelah tersungkur beberapa waktu. Awalnya sulit melepaskan ia yang bahkan berkorban untuknya saja enggan. Ada seribu alasan yang membuatnya terus mempertahankan dongeng indah ini. Janji-janji manis yang ia reka-reka sendiri.

Nanti ia pasti berubah.
Harus menunggu sedikit lebih lama agar
kisah ini berujung indah.

“Sudah cukup”

Sang wanita kini sepenuhnya menyadari pedihnya berjuang seorang diri. Dengan seluruh sisa kekuatan yang masih dipunya, ia memutuskan untuk mengakhiri dongengnya.

Tidak ada serpihan dendam yang masih terpendam. Pun tidak ada benci yang timbul di penghujung hari. Semuanya cintanya meluruh seperti dauh jatuh. Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin yang menerbangkangkannya entah kemana.

Tidak semua yang ditinggikan akan selalu membawa kebaikan. Nyatanya, mencintai ia dengan sepenuh hati, dan membersamainya selama ini hanya menyisakan luka yang terus menganga.

Namun, tiada luka yang akan menganga selamanya. Setiap luka hanyalah sementara. Luka yang hadirnya membuat semakin dewasa. Bahwa tidak setiap kecewa akan berujung sengsara.

Selalu ada pilihan untuk bangkit. Menelan luka itu sendirian, lalu menyembuhkannya perlahan. Tidak mudah memang, tetapi bukan hal mustahil untuk dilakukan. Sang wanita tidak pernah sendirian. Ada Tuhan yang menyisipkan hikmah pada setiap jawaban. Ada mereka sang pelipur lara. Mereka yang memeluknya dalam doa-doa yang sama: mendekatkan bahagia dan mengenyahkan segala lara.

Yang pergi akan segera terganti. Dengan ia yang lebih bisa mencintai sepenuh hati. Dan membawa cerita menuju hari bahagia yang telah lama dinanti.

Semoga sajak ini membantumu menjadi lebih ikhlas, dan menjaga jiwamu tetap waras.

Peluk hangat,
View Post

Seperti yang sudah-sudah, saya selalu menyelipkan kata 'eman' setiap kali mau mengganti suatu 'barang'.  Alasannya apa lagi jika bukan terlampau sayang dan sudah terlanjur nyaman. Ya, kalimat-kalimat itu selalu berhasil merayu dan memunculkan noktah ragu. 

Meskipun bukan tipikal perempuan baperan, namun saya merasakan benar makna 'terlanjur nyaman' ini. Rasa-rasanya, tak bisa begitu saja saya beralih kepada yang baru karena sekian lama telah terikat oleh waktu. Tak mudah menghapus memori itu, lantas menuliskan kembali pada selembar kanvas baru.

Tetapi, setitik penyesalan itu semakin lama semakin mengkristal. Lalu perlahan mengoyak ceruk logika dan merangkak mencari kebenarannya.

Seiring pergantian hari, suara hati yang lama sunyi, kini dengungnya terdengar kembali. Pelan, kemudian bertabuh semakin kencang.

Sudah saatnya, pikir saya.

Maka, dengan mengorek logika yang masih bersisa, satu keputusan akhirnya tersimpulkan. Tidak ada lagi yang membebani langkah kaki. Sudah saatnya saya berlari.

Kepindahan Ceritapendek menuju Ceritanurul terhitung efektif mulai detik ini. Sungguh tidak mudah melepaskan ia yang menemani saya dan menjadi saksi bisu atas semua rasa yang hanya tertorehkan melalui kata.

Melalui Ceritanurul, saya akan kembali melanjutkan apa yang sudah saya mulai satu setengah tahun ini. Ada banyak kalimat semoga ketika jemari saya lincah mencipta wujudnya. Sejumlah semoga yang juga semoga diaminkan pembaca.

Selamat datang di Ceritanurul. Selamat berselancar. Semoga apa-apa yang tertuliskan di ruang ini merasuk hingga palung hati terdalam, dan akhirnya menjelma sebagai catatan pendek untuk bekal mengarungi hari yang panjang.

Peluk hangat,
@cerita.nurul

View Post